1.
Masa Pemerintahan
Munculnya Raja Jayapangus sebagai pemegang tampuk pimpinan
kerajaan Balidwipamandala (Bali)
diketahui dari dua jenis sumber tertulis yaitu prasasti dan Lontar Usana Bali. Kurang lebih 44 cakep prasasti yang dikeluarkan oleh
Raja Jayapangus. Prasasti yang tertua menyebut Raja Jayapangus yaitu prasasti
Mantring A (prasasti yang disimpan di Desa Mantring, Gianyar) berangka tahun
1099 Çaka/1177 Masehi. Sekaligus
merupakan prasasti satu-satunya yang berangka tahun berbeda dari 43 prasasti
lainnya, yaitu berangka tahun 1103 Çaka/1181
Masehi. Dari prasasti-prasati tersebut dan prasasti sebelumnya diketahui bahwa
Raja Jayapangus memerintah setelah Raja Ragajaya yang hanya mengeluarkan sebuah
prasasti berangka tahun 1077 Çaka/1155
Masehi. Apabila prasasti ini dianggap prasasti terakhir dari raja tersebut,
maka ada kevakuman waktu selama 22 tahun anatara pemerintahan Raja Ragajaya
dengan pemerintahan Raja Jayapangus. Walaupun Raja Jayapangus muncul setelah
Raja Ragajaya, tetapi tidak dapat dipastikan bahwa Raja Jayapangus merupakan
anak atau keturunan langsung dari Raja Ragajaya. Karena bukti-bukti tertulis
baik prasasti maupun sumber tertulis lainnya belum ada menyebut hal tersebut.
Hal ini berbeda dengan keterangan yang termuat dalam kitab Usana Bali. Dalam kitab ini yang ditulis sekitar abad ke-16,
disebutkan bahwa Raja Jayapangus sebagai pengganti Raja Jayakasunu dan
berkeraton di Balingkang. Lebih lanjut dalam Usana Bali disebutkan Raja Jayakasunu sebagai penyelamat kerajaan
Bali yang terkena malapetaka karena rakyat acuh tak acuh dalam menjalankan
upacara agama.
Kembalinya kesadaran rakyat itulah sampai saat ini dirayakan
sebagai hari raya Galungan. Walaupun
demikian pentingnya peran Raja Jayakasunu dalam kehidupan masyarakat Bali pada
masa lalu, namun tidak pernah ditemukan atau dimuat dalam prasasti-prasasti
yang telah ditemukan sampai saat ini. Demikian sebaliknya nama-nama raja
sebelum Raja Jayapangus seperti Raja Jayasakti dan Raja Ragajaya tidak pernah
disebut-sebut dalam kitab Usana Bali.
Timbul pertanyaan apakah raja ini memerintah pada masa yang kosong selama 22
tahun itu, namun prasastinya belum ditemukan? Atau Raja Ragajaya merupakan nama
lain dari Raja Jayakasunu? Masih banyak lagi pertanyaan yang memerlukan jawaban
dan sudah tentu memerlukan penelitian lebih lanjut.
Berdasarkan prasasti-prasasti beliau mendapakan informasi
seolah-olah Raja Jayapangus hanya memerintah 4 tahun, yaitu mulai tahun 1099 Çaka/1177 Masehi sampai 1103 Çaka/1181 Masehi. Pada awalnya beliau
memerintah tanpa didampingi oleh kedua permaisurinya dengan gelar lengkap Pāduka Śri Māhāraja Haji Jayapangus,
seperti termuat dalam prasasti Mantring A. Sedangkan 28 prasasti lainnya
menyebut beliau sudah memerintah didamping oleh kedua permaisurinya dan
gelarnyapun bertambah menjadi Pāduka Śri
Māhāraja Haji Jayapangus Arkaja Cihna/Lañcana.
Sedangkan kedua permaisurinya bergelar Pāduka
Śri Parameśwari Induja Ketana dan Pāduka
Śri Mahadewi Śaśangkajä Lañcana/Cihna.
Raja Jayapangus kemudian digantikan oleh Raja Ekajayalancana
dengan gelar Śri Māhāraja Haji Ekajaya
Lañcana, yang memerintah didampingi oleh ibundanya dengan gelar Śri i Māhāraja Arjāyadengjaya Ketana.
Pasangan ibunda dan ananda ini pertama kali muncul dalam prasasti Kintamani E
dan terakhir dalam prasasti Kintamani F yang berunsur penanggalan dan berangka
tahun sama yaitu tanggal 13 suklapaksa
(pinanggal/bulan terang), hari-hari, Mawulu,
wagai, sukra (jumat) tahun 1122 Çaka/1200
Masehi. Ditulisnya prasasti ini berselang sekitar 19 tahun dengan prasasti Raja
Jayapangus yang terakhir. Prasasti tersebut berisi tentang permohonan penduduk
Desa (karaman) Kintamani agar
anugerah raja terdahulu (almarhum) dikukuhkan kembali, karena Desa Kintamani
sudah sejak dahulu merupakan salah satu desa yang menjadi sumber perekonomian
kerajaan.
Bila kita perhatikan kembali rentang waktu antara prasasti
terakhir dari Raja Ragajaya yang berangka tahun 1077 Çaka/1155 Masehi dengan prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh
Raja Jayapangus yang berangka 1099 Çaka/1177
Masehi, maka terlihat ada kevakuman waktu sekitar 22 tahun. Demikian pula
anatara prasasti terakhir dari raja Jayapangus yang berangka 1103 Çaka/1181 Masehi dengan prasasti pertama
Raja Ekajaya yang dikeluarkan tahun 1120 Çaka/1198
Masehi terdapat kevakuman sekitar 17 tahun. Dilain pihak dari 29 prasasti Raja
Jayapangus yang berangka tahun menunjukkan bahwa seolah-olah beliau memerintah
hanya selama 4 tahun (1099 Çaka/1177
Masehi - 1103 Çaka/1181 Masehi).
Melihat kenyataan tersebut akhirnya muncul suatu pertanyaan dan menjadi
permasalahan cukup rumit, yaitu mungkinkah seorang raja besar (rajādhiraja) yang memiliki kewibawaan
dan kekuasaan seperti raja penguasa penjuru mata angin (prabhu cakrawarthi) dan menguasai seluruh wilayah pulau Bali (satungkāb balidwipa mandala) dengan
tujuh negara bawahan (sapta nagara),
dan juga disebut sebagai titisan dewa matahari atau Surya (arkaja) yang selalu didampingi oleh dua permaisurinya yang disebut
sebagai titisan atau keturunan Dewi Ratih atau bulan (induja, śaśangkajä) hanya
memerintah kurang dari 4 tahun? Kalau dipikirkan secara logis tidaklah
mungkin atau kemungkinan sangat kecil.
Pada kesempatan ini akan dicoba mengemukakan semacam
ilustrasi atau asumsi awal. Kalau diperkirakan Raja Jayapangus telah lahir
setahun sebelum prasasti Raja Ragajaya itu berarti beliau lahir tahun 1076 Çaka/1154 Masehi. Setelah berumur 17
tahun yaitu sekitar tahun 1093 Çaka/1171
Masehi beliau dinobatkan menjadi raja walaupun tergolong masih remaja. Setelah
5 tahun memerintah dikeluarkan prasasti Mantring A yang berangka tahun 1099 Çaka/1177 Masehi. Pada saat itu beliau
berumur 22 tahun, namun belum mempunyai permaisuri atau istrinya belum berperan
dalam pemerintahannya. Tiga atau empat tahun kemudian beliau telah berumur 26
tahun, serentak ditulis sedikitnya 29 prasasti dalam waktu yang sama. Dalam
arti hari, tanggal, bulan, tahun sama dan beliau sudah disebutkan memerintah
didampingi oleh kedua permaisurinya. Mungkinkah peristiwa ini merupakan
peringatan hari perkawinannya atau peringatan hari kelahiran calon raja
berikutnya? Katakanlah calon raja atau anak raja yang akan menggantikannya
telah lahir saat itu, dan dinobatkan menjadi raja 17 tahun kemudian yaitu tahun
1120 Çaka/1198 Masehi. Raja
Jayapangus saat itu telah telah berumur 43 tahun dan raja penggantinya Raja
Ekajayalancana baru berumur 17 tahun dan rupa-rupanya beliau belum siap menjadi
raja, sehingga 2 tahun kemudian yaitu tahun 1122 Çaka/1200 Masehi terbit prasastinya dan disebutkan beliau
memerintah masih didampingi oleh bundanya, i Aryadengjaya Ketana.
Dari ilustrasi ini kiranya dapat diduga bahwa masa
pemerintahan Raja Jayapangus bukan hanya 3 sampai 4 tahun. Tetapi 5 tahun
sebelum dikeluarkan prasasti pertamannya ditambah 4 tahun sesuai dengan
prasastinya dan 17 tahun saat penyerahan tahtanya kepada Raja Ekajayalancana.
Jadi lama masa pemerintahannya sekitar 26 tahun, dan beliau mengalihkan
tahtanya dalam usia 43 tahun. Sangat disadari bahwa asumsi ini sangat lemah
karena bukannya dapat menjawab persoalan, namun menimbulkan persoalan baru.
Untuk itu kita mengharapkan para pakar yang berkecimpung dibidang ini, ikut
serta menyelesaikan permasalahan ini. Perlu diketahui bahwa permasalahan ini
hanyalah salah satu dari beberapa permasalahan yang berkaitan dengan masa
pemerintahan Raja Jayapangus.
2.
Pranata Pemerintahan
Telah disebutkan di atas bahwa wilayah kekuasaan Raja
Jayapangus meliputi seluruh kawasan pulau Bali (satungkāab balidwipa mandala) yang terdiri atas tujuh negara
bawahan (sapta nagara). Mengingat
betapa luasnya wilayah kekuasaannya saat itu, sudah tentu beban tugasnya sangat
berat. Apalagi beliau mempunyai misi untuk mensejahterakan rakyatnya dan keajegan kerajaannya. Oleh karena
beratnya tugas-tugas raja dibalik ketenaran namanya atas sejumlah jabatan.
Namun dari keseluruhan jabatan yang tersurat di dalam prasasti, hanya sebagaian
kecil yang diketahui fungsi dan kewenangannya. Maka secara garis besarnya
jabatan-jabatan tersebut dapat dikategorikan menjadi : Jabatan Struktural dan
Jabatan Fungsional.
A.
Jabatan Struktural
Berdasarkan hirarkinya atau garis besar perintahnya dan
wilayah kekuasaannya dapat dipilah menjadi dua, yaitu jabatan tingkat pusat dan
jabatan tingkat desa.
1).
Jabatan Tingkat Pusat
Jabatan pada strata ini kewenangannya diakui oleh seluruh
wilayah kerajaan. Jabatan-jabatan tersebut yaitu : 1) Raja/Maharaja/Haji, 2) Senāpati, 3) Samgat, dan 4 ) Mpungku.
Jabatan senāpati, samgat, dan mpungku berada dalam suatu lembaga kerajaan yang disebut Pakirakiran I Jro Makabehan.
a).
Raja/Maharaja/Haji
Masyarakat tradisional menganggap kedudukan raja sangat
tinggi, bahkan menduduki lapisan kekuasaan teratas dari seluruh lapisan
kekuasaan yang ada. Raja dipandang sebagai tokoh yang sangat mulia, agung dan
patut dijadikan panutan dalam berprilaku. Kenyataan ini sering kita temukan
baik dalam sumber-sumber sastra maupun prasasti.
Kitab Manawadharmasastra,
VII: 1-8 menyebutkan sifat raja sama dengan sifat-sifat para dewa dan kekuasaan
raja sama dengan kekuasaan para dewa. Oleh karena itu kekuasaan raja melebihi
kekuasaan makhluk-makhluk lain yang ada di dunia. Pada sloka 6 dari kitab tersebut dipertegas lagi, bahwa sifat dan
kekuasaan raja ibarat sinar matahari, tidak dapat ditatap dengan mata. Ini
berarti bahwa kekuasaan raja tidak dapat ditentang dan segala perintahnya harus
ditaati oleh rakyatnya.
Berkat kemahakuasaan seorang raja maka sifat dan kekuatan
yang harus dimiliki sebagai kepala pemerintahan, hendaknya sesuai dengan sifat
atau tingkah laku (brata) dan kekuatan
yang dimiliki oleh para dewa penjaga dunia. Yaitu Agni (dewa api), Wahyu (dewa
angin), Arka atau Surya (dewa matahari), Soma atau Candra (dewi bulan), Dharma atau
Yama (dewa keadilan), Kuwera atau Kubera (dewa harta atau kekayaan), Waruna (dewa laut atau air), dan Indra (dewa perang). Tingkah laku raja yang sesuai dengan dewa
penjaga dunia itu disebut asta brata.
Tetapi apabila disimak lebih mendalam isi kitab Manawadharmasastra, raja yang mempunyai kewajiban kepada rakyat
sebagai pelindung, menjaga keamanan dan ketertiban, menjaga serangan musuh baik
dari dalam maupun dari luar, seperti tugas para dewa dimaksud. Oleh karena
sifat-sifat raja itulah, maka dituntut agar selalu dekat dengan rakyatnya. Hal
ini semua termuat dalam karya sastra yang tergolong niti, seperti Nitisastra atau Nitisara, Nitirajasasana,
Nitipraja, Silasasana Prabhu, Purwwadigama
Sasana Sarodreta dan sebagainya. Di samping karya yang sangat populer
seperti Ramayana, Bhatarayudha, dan Bismaparwa. Seorang raja dituntut agar
dapat menjadi sahabat rakyat dan bertingkah laku arif dan bijaksana seperti
tabiat seorang pendeta utama. Dalam Silasasana
Prabhu disebutkan sebagai berikut :
“…sang prabhu juga
maka kanti, apanumawak sadāśiwa…”
selanjutnya disebutkan “… apan sang amawa
bhumi rumawak sang putus…”
Terjemahan :
“…raja hendaknya sebagai sahabat, karena berbadan Sadāśiwa…”, selanjutnya “…karena yang
menjaga dunia (raja) berbadan atau berprilaku sebagai seorang pendeta utama…”.
Kenyataan adanya anggapan bahwa raja sebagai titisan dewa,
dalam masyarakat Bali kuna telah muncul sebelum pemerintahan Raja Jayapangus.
Salah satu diantaranya ialah Raja Anak Wungsu, yang memerintah sekitar tahun
971 Çaka/1045 Masehi – 990 Çaka/1977 Masehi. Dalam
prasasti-prasastinya beliau disebutkan sebagai titisan Dewa Wisnu. Hal ini disebutkan dalam beberapa prasasti sebagai berikut
:
“…karunātma sāksāt
niram hari mūrti, nityasa nira
kumingking sakaparipurnākna nikang rāt rinaksanire…”
Terjemahan :
“…belas kasihan (raja) terhadap jiwa (rakyat) bagaikan Dewa
Hari (Wisnu) yang selalu memikirkan kesempurnaan atau kesejahteraan dunia yang
dikuasainya…”.
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa Raja Anak Wungsu
merupakan penganut sekte Waisnawa,
namun tidak melupakan penghormatan kepada dewa-dewa lainnya. Hal ini
diperlihatkan pada bagian akhir dari prasasti-prasastinya yaitu bagian yang
memuat kutukan-kutukan (sapatha)
untuk memperkuat keputusan raja. Di samping itu Raja Anak Wungsu juga disebutkan
sebagai penjelmaan Dewa Dharma atau
Yama yaitu dewa keadilan. Dalam prasasti disebutkan “…tuhu tuhun dharmmamūrti, sāksāt
dharmmamūrti…”, artinya “…seakan-akan sebagai penjelmaan Dharmma…”. Juga
disebutkan “…sāksāt dharmmātmajamūrti…”,
artinya “…seakan-akan penjelmaan sejati dari putra Dharma…”. Raja yang
dikaitkan dengan Dewa Wisnu atau Hari mungkin karena sifat, fungsi, dan
kekuatan magis dewa tersebut sebagai pelindung, penjaga, dan pemelihara
kelestarian atau keutuhan jagat raya beserta isinya, yang harus dimiliki oleh
raja sebagai penguasa kerajaannya. Dikaitkan dengan Dewa Dharma atau Yama yakni
dewa keadilan, karena raja dalam menjalankan tugasnya atau keputusannya harus
bersikap adil dan bijaksana agar rakyat benar-benar terayomi.
Demikian halnya dengan Raja Jayapangus, beliau juga
disebutkan sebagai titisan dewa. Hal tersebut diketahui dari gelarnya. Dengan
tambahan gelar arkaja yang berarti
“putra matahari” disertai dengan gelar kedua permaisurinya yaitu induja atau śaśangkaja yang berarti berarti “putri bulan” untuk parameçwari dan mahadewi, maka pasangan raja dengan kedua permaisurinya itu
merupakan pasangan suami istri yang ideal. Melambangkan dewa matahari (Surya)
disertai dengan dewi bulan (Ratih), karena itu cihna, lancana, dan ketana mempunyai arti “lambang atau
tanda”. Dengan pemakaian gelar seperti itu harapan rakyat atau setidak-tidaknya
pemberi gelar tersebut, agar raja mempunyai sifat seperti dewa matahari (Surya)
yang setiap saat dapat menyinari kehidupan rakyatnya baik lahir maupun batin. Induja atau ketana diharapkan dapat memberi kesejukan lahir-batin kehidupan
rakyatnya.
Penggunaan gelar indu
yang merupakan sinonim dari kata çaçangka,
telah dipakai oleh seorang ratu (raja perempuan) Bali yang memerintah 70 tahun
sebelumnya. Gelar lengkap ratu tersebut adalah Śri Sakalendukirana Iśana Gunadharmma Laksmīdarā Wijayottunggadewī.
Kata sakalendukirana merupakan kata
jadian dari kata sakala + indu + kirana. Kata sakala berarti “penjelmaan, titisan, sempurna, dan nyata”, indu berarti “bulan”, kirana berarti “sinar, cahaya”. Jadi sakalendukirana berarti “penjelmaan atau
titisan sinar bulan” atau “penjelmaan bulan purnama”. Masyarakat Bali sejak
dahulu sampai saat ini, menganggap bulan purnama merupakan lambang atau simbul
dari Dewi Ratih. Harapan yang tersirat dari gelar indu (Dewi Ratih) adalah setiap ratu (raja perempuan) maupun istri
raja yang memakai gelar tersebut, hendaknya dapat memberikan sinar kesejukan
dalam kehidupan masyarakat. Dilain pihak dengan gelar tersebut juga digunakan
untuk mendapatkan legalitas dari rakyat terhadap kedudukan seorang yang memakai
atau yang berhubungan dengan pemakai gelar tersebut.
Paduka Śri Mahārāja Haji Jayapangus Arkajacihna ialah
seorang raja yang sangat berkuasa dan bijaksana serta sangat mengasihi
rakyatnya. Sekitar tahun 1099 Çaka
/1177 Masehi sampai 1103 Çaka /1181
Masehi sebagai penguasa tunggal diseluruh wilayah Bali (satungkāb balidwipa mandala), yang terdiri atas 7 negara bawahan (sapta nagara). Beliau selalu memikirkan
kesejahteraan dan ketentraman rakyatnya. Mendengarkan keluhan-keluhan
rakyatnya, dan keajegan atau keutuhan
kerajaannya menjadi prioritas utama semasa pemerintahannya. Sesuai dengan sifat
kedewaan yang melekat pada gelarnya yaitu arkaja
yang berarti titisan Dewa Surya atau matahari. Kenyataan tersebut termuat
dalam prasastinya yang disebutkan sebagai berikut :
“…kumingkin ri
kaswathā rāt rinaksanira, makadona ri
pagéh nikang saptanagara, swabhawaning
kadi sira prabhu cakrawarthi, rājādhirāja,
sekarājyarājā laksmi, pināka patraning bhuwana satungkāb Bali
dwipa mandala…”
Terjemahan :
“…(raja) berusaha keras mewujudkan keselamatan dunia yang
diperintahnya, dengan tujuan menjaga keutuhan ketujuh negara (sapta nagara), sesuai dengan kewibawaan
beliau sebagai raja penguasa dunia, raja termegah dan tertinggi dari sebuah
kerajaan tunggal, yang bagaikan pelindung dunia diseluruh wilayah pulau Bali (balidwipa mandala)…”.
Kutipan prasasti di atas dapat dikatakan bahwa,
setidak-tidaknya Bali pada masa itu terdiri dari tujuh negara (sapta nagara) bawahan yang berada di
bawah penguasaan tertinggi Raja Jayapangus. Oleh rakyat ketujuh negara
bawahannya itu, beliau diakui sebagai rajadiraja
(penguasa dunia) dan rakyatpun merasa terlindung olehnya. Karena raja selalu
berusaha keras (kumungkin) untuk
menjaga keajegan dunia (ri pagéh nikang saptanagara).
b)
Senāpati
Kata Senāpati berasal
dari bahasa Sansekerta yaitu senā dan
pati. Senā berarti tentara, sedangkan pati
berarti raja. Jadi senāpati berarti
raja atau pemimpin tentara. Namun demikian perlu diingat bahwa orang yang
menduduki jabatan senāpati tidaklah
semata-mata bertugas dan hanya berwewenang memimpin tentara. Kedudukan senāpati pada jaman Bali kuna dapat
dibandingkan dengan punggawa pada
jaman kerajaan Gelgel dan Klungkung yang juga bertugas memutus suatu perkara.
Perintah yang diturunkan raja diterima langsung oleh senāpati yang kemudian diturunkan kembali kepada para tanda rakryan (“…umajar i para senāpati, umingsor
i taṇḍa rakryan ri pakira kirān i jro makabehan…”).
Sedikitnya ada delapan jabatan senāpati yang dikenal pada masa pemerintahan Raja Jayapangus serta
sejumlah pejabat yang menjabat jabatan-jabatan tersebut. Dari keseluruhan
pejabatnya, ada yang menggunakan gelar “pu”
dan beberapa diantaranya menggunakan gelar “mpu”. Kedua istilah tersebut mengandung pengertian yang sama, yakni
orang yang dimuliakan atau dituakan. Karena orang tersebut telah memiliki
keahlian yang memupuni pada bidang tertentu. Kedelapan senāpati dimaksud yaitu :
- Senāpati
Balīmbunut, dijabat oleh Pu/Mpu Anakās. Senāpati Dinganga, dijabat oleh Pu
Anglawung yang kemudian digantikan oleh Pu Udāsina atau Wudasina.
- Senāpati
Dīnda, awalnya dijabat oleh Pu Anakās kemudian diganti oleh Pu Hitawaśana,
selanjutnya Pu Anakās dipercaya untuk menjabat Senāpati Balīmbunut.
- Senāpati
Manyiringin, dijabat oleh Pu/Mpu Amurulung dan jabatan ini pernah dijabat oleh
Pu Wirengsatru.
- Senāpati
Sarbwa, pada mulanya dijabat oleh Pu Singgih kemudian digantikan oleh Mpu
Hitawaśana.
- Senāpati
Kuturan, mulanya dijabat oleh Pu Dijanmar kemudian digantikan oleh Pu Nirjanma,
Pu Nirjanma kemudian digantikan oleh Pu Wakita.
- Senāpati
Waranasi, dijabat oleh Pu Udasina dan kemudian beliau menjabat Senāpati
Dinganga.
- Senāpati
Wrsantān, dijabat oleh Mpu Amurulung.
c).
Samgat
Jabatan ini menerima perintah dari para senāpati. Kata samgat
mengingatkan pada istilah sang pamgat.
Pamgat atau paměgat berarti “pemutus”. Andaikata hal ini dapat diterima maka samgat berarti jabatan yang bertugas
memutuskan sesuatu. Menyadari istilah ini adalah istilah yang sudah tidak
dipergunakan lagi pada dewasa ini, sukarlah untuk mengetahui apa tugas dan
wewenang samgat pada waktu itu. Pada
masa itu ada sejumlah jabatan samgat
beserta nama pejabat yang menjabatnya, yaitu :
- Samgat
Mañuratang Ājñā i Hulu, dijabat oleh Madatambringreh atau Madatamwringreh.
- Samgat
Mañuratang Ājñā i Tngah, dijabat oleh Matadhara atau Mitadhara.
- Samgat
Mañuratang Ājñā i Wuntat, secara bergantian dijabat oleh Tjagarāga, Mārggarāga,
Amaruda, Amudagmudag, dan Margga.
- Samgat
Caksu Kārana Pura, dijabat oleh Walaharsa.
- Samgat
Caksu Kāranakranta, dijabat oleh Antabhaya.
- Samgat
Mañumbul, dijabat oleh Dhirajjā kemudian diganti oleh Wrajñā.
- Samgat
Pituha, dijabat oleh Jugulpungpung.
d).
Sireng Kaśewasogatan
Para pemuka agama Śiwa dan Buddha menduduki tempat utama di
antara pejabat tersebut. Dalam beberapa prasasti disebutkan “… karuhun mpungku śewasogata…” artinya
“…terutama beliau para mpungkwing
(tuanku di)…”, yakni merupakan jabatan yang mempunyai tugas dan kewenangan
mengatur bidang keagamaan disuatu bagunan suci. Jabatan ini dijabat oleh para
pemuka agama Śiwa dan agama Buddha. Kedua unsur agama ini selalu dimintai doa
restunya, agar tercapainya ketentraman seluruh rakyat dan negara. Untuk
membedakan kedua pendeta ini, apakah beliau penganut Śiwa (Kaśewan) atau Buddha (Kasogatan)
dapat diketahui dari gelar yang dipergunakan pada nama-nama beliau. Para pemuka
agama Śiwa (Hindu) di depan nama beliau didahului dengan “ḍang ācāryya”, sedangkan untuk menunjukkan bahwa beliau yang
dimaksud beragama Buddha di depan nama beliau selalu didahului “ḍang upādhyāya”. Pemuka agama Śiwa (Kaśewan) yang bertugas mengelola salah
satu bangunan suci, yaitu :
- Mpungkwing
Hyang Padang, dijabat oleh Ḍang Ācāryya Agreśwara yang kemudian diganti oleh
Ḍang Ācāryya Ananaguna.
- Mpukngwing
Dhama Hañar, dijabat oleh Ḍang Ācāryya Agreśwara yang kemudian menjadi
pengelola bangunan suci Hyang Padang.
- Mpungkwing
Makarun, pada mulanya dijabat oleng Ḍang Ācāryya Hariwangśa (Hadiwangśa)
selanjutnya diganti oleh Ḍang Ācāryya Indrangśa.
- Mpungkwing Pasabhān, dijabat oleh Ḍang Ācāryya
Aparadwaja (Amaradwaja).
- Mpungkwing
Binor, secara bergantian dijabat oleh Ḍang Ācāryya Hlahla dan Ḍang Ācāryya Rěṣi
Taruṇa.
- Mpungkwing
Bañugaruda, dijabat oleh Ḍang Ācāryya Witning Jaya.
- Samgat
Juru Wadwa, mulanya dijabat oleh Ḍang Ācāryya Mahendra kemudian diganti oleh
Ḍang Ācāryya Brahmendra dan Srangga, beliau diganti lagi oleh Ḍang Upādhyāya
Brahmendra.
Adapun pejabat yang tergolong dalam Sireng Kasogatan (Buddha), yaitu :
- Mpungkwing
Kuti Hañar, dijabat oleh Ḍang Upādhyāya Sarwwatharja (Sarbwatharja) kemudian
diganti oleh Ḍang Upādhyāya Antāraga.
- Mpungkwing
Bajara Ikara, awalnya dijabat oleh Ḍang Upādhyāya Widdhatra kemudian diganti
oleh Ḍang Upādhyāya Rarai Jawa.
- Mpungkwing
Kādhikaran, mulanya dijabat oleh Ḍang Upādhyāya Sarwwatha kemudian secara
berturut-turut diganti oleh Ḍang Upādhyāya Antaraga, Ḍang Upādhyāya
Sarwwarthaja (Sarwwaarja).
- Mpungkwing
Rāganāgara, dijabat oleh Ḍang Upādhyāya Nagaraka.
- Mpungkwing
Purwwanagara, dijabat oleh Ḍang Upādhyāya…?
- Mpungkwing
Nalñja, dijabat oleh Ḍang Upādhyāya…?
- Samgat
Mangirenngiren Wandami, dijabat oleh Jitaraga dan kemudian ganti oleh
Wangsapriya.
2).
Jabatan Tingkat Desa atau Daerah
Jabatan tingkat desa atau daerah yang dimaksud yaitu
jabatan-jabatan yang kedudukannya lebih rendah dari jabatan tingkat pusat.
Tugas dan wewenangnya terbatas pada wilayah desa yang merupakan unit
territorial terkecil dari suatu kerajaan. Unit teritorial terkecil, dalam
sejumlah prasasti disebut thani, wanua atau banua, desa dan penduduk
disebut kārāman atau anak thani atau anak wanua.
Jabatan-jabatan pada tingkat ini antara lain :
a).
Rama
Rama berarti orang yang bertugas memimpin
sebuah kārāman. Kata rama atau rerama sampai sekarang masih dikenal di Bali, yang berarti orang
tua, baik orang tua sendiri maupun kerabat dekat. Dalam kata ini terselip pula
arti kepemimpinan karena seorang rerama atau
rama harus bertanggung jawab kepada
keluargannya. Kata ini sering diikuti kata kubayan
sehingga menjadi rama kubayan.
b).
Sang Mathāni
Sang mathāni
adalah petugas yang mengurus sesuatu berkenaan dengan tanah di desanya. Hal
ini mengingatkan pada beberapa tahun yang lalu di Bali, apabila salah seorang
anggota desa melaksanakan pernikahan. Keluarga baru ini oleh desa diberikan
sebidang tanah (ngarangin) dan sejak
itu pula harus aktif mengikuti kegiatan yang dilaksanakan desanya. Jadi
andaikata tidak jauh menyimpang kemungkinan di samping tugas permasalahan tanah
lainnya, tugas di atas juga merupakan salah satu kewajiban yang harus ditangani
oleh sang mathāni.
c).
Mañuratang
Apabila ditingkat pusat terdapat jabatan mañuratang ajña yaitu mañuratang yang bertugas menulis
perintah raja, ditingkat desapun terdapat jabatan mañuratang yang bertugas menulis dan mencatat keadaan desanya.
Kemungkinan jabatan mañuratang sama
dengan sekretaris desa saat ini.
d).
Juru Kṛtta Deśa
Kṛtta berasal dari bahasa Sansekerta yang
berarti selamat, aman, dan sentosa. Jadi kṛtta
deśa adalah petugas menjaga keselamatan dan keamanan desanya. Kemungkinan
jabatan kṛtta deśa semacam pecalang saat ini.
B.
Jabatan Fungsional
Di samping jabatan struktural seperti
telah dikemukakan di atas, juga terdapat jabatan fungsional yang kewenangannya
diakui oleh lebih dari satu desa. Dan bertugas menyelsaikan suatu masalah
tertentu secara professional, serta bertanggung jawab kepada tanda rakyan yang ada di pusat. Jabatan-jabatan
tersebut antara lain :
- Samgat
Ker Krangan, pejabat yang bertugas memutuskan persoalan pembagian waris apabila
ada penduduk yang meninggal.
- Samgat
Ker Kahyangan, pejabat yang bertugas mengurus permasalahan berkenaan dengan
tempat-tempat suci (pura dan yang lainnya).
- Samgat
Nayakan Buru, pejabat yang bertugas mengurus berbagai tugas berkenaan dengan
perburuan.
- Samgat
Nayakan Asba (asba atau aśwa berarti kuda), jabatan yang
dipegang oleh pejabat yang bertugas mengurus hal-hal yang berkenaan dengan
kuda.
- Samgat
Nayakan Manuk, pejabat yang mengurus hal-hal berkenaan dengan burung (?).
- Samgat
Caksu Wsi, pejabat yang bertugas mengawasi pekerjaan berkenaan dengan
benda-benda yang terbuat dari besi.
- Samgat Taji, para petugas yang berhubungan
dengan sambungan ayam (tajen).
- Nayakan Rggāp, petugas yang mengurus
orang-orang yang telah berkeluarga dan menunaikan tugas-tugasnya sebagai karma desa.
- Nayakan Jawa, petugas ini tidak jelas
maksudnya.
- Caksu
Wruh, pengawas umum yang mengawasi keadaan desa.
- Caksu Hduk, petugas yang mengurus hal
berkenaan dengan urusan ijuk.
- Sang Admak Kmitan Apigajih, petugas pemungut
pajak.
- Hulu Kayu, petugas yang mengurus kehutanan.
- Paramadhyastā, jabatan ini tidak jelas
maksudnya. Pada prasasti biasanya dihubungkan dengan caksu wruh dalam hal mengurus orang mati salah pati, atau lembu dan kuda yang kedapatan mati di semak
belukar.
- Sang Majataka, petugas yang mengurus laba pura (?).
- Mpungku
Sthāpaka, pejabat ini tidak jelas maksudnya.
- Tapa Haji, pejabat ini tidak jelas maksudnya.
3.
Pedoman Pemerintahan
Menyadari akan tugas seorang raja sangat berat, untuk
mengontrol jalannya pemerintahan. Maka Raja Jayapangus menggunakan beberapa
kitab hukum Hindu sebagai pedoman pelaksanaan pemerintahan, yang dipatuhi oleh
segenap pelaksana atau pejabat pemerintahan. Kitab hukum yang sering
disebut-sebut dalam prasasti antara lain kitab hukum Manawakamandaka, Manawakamandaka
Dharmasastra, dan Manawaśasanadharma.
Di samping itu diterapkan pula ajaran-ajaran tentang dasaśila dan pancaśiksa. Dasaśila adalah sepuluh jenis tingkah
laku yang baik dan harus dilaksanakan oleh pejabat Negara, yaitu ahimsa (tidak membunuh), brahmancarya (mempraktekkan
ajaran-ajaran suci), satya (jujur,
tulus hati, setia, berbudi luhur dalam melaksanakan tugas), awyawajarika (:tidak ikut campur dalam
perkara atau perdagangan), astainya
(:tidak mencuri), krodha (tidak marah
atau menjadi pemarah), guruśuśusa (patuh,
taat dan berbhakti kepada guru), śosa (senantiasa
menjaga dan menciptakan kebersihan jasmani dan rohani), āhārālāghawa (makan secukupnya dan memperhatikan kesehatan
makanan), dan āpramäda (tidak lalai
dalam menjalankan tugas, selalu memperhatikan kepentingan negara, tidak boleh
mabuk).
Pancaśiksa artinya sang raja atau pemimpin
setidak-tidaknya memiliki lima jenis keterampilan untuk melengkapi diri dalam
melaksanakan tugasnya. Misalnya terampil dalam bidang peperangan, terampil
dalam bidang kesenian, terampil dalam bidang pertanian, terampil dalam bidang
perekonomian, dan terampil dalam bidang pengobatan. Di samping itu seorang
raja, pemimpin, atau pejabat juga harus mempunyai keterampilan dalam bidang
perkudaan (aswaśiksa), cekatan dan
terampil dalam melaksanakan intruksi-intruksi dari guru (guruśiksa), memahami ilmu dan terampil melatih gajah (hastiśiksa), dan mempunyai keahlian dan
keterampilan dalam mengatur pemerintahan (rajaśiksa).
Kitab-kitab hukum dan tata pemerintahan itu diterapkan
dengan benar oleh Raja Jayapangus, disertai pula penerapan ajaran-ajaran dasaśila dan beberapa keterampilan (śiksa) tersebut. Maka wajarlah bahwa
beliau disebut sebagai prabhu cakrawarthi
(raja penguasa dunia), satungkāb
balidwipamandala (seluruh wilayah pulau Bali). Walaupun demikian pentingnya
kitab hukum dan tata pemerintahan itu sudah tentu dalam penerapannya
disesuaikan dengan tradisi-tradisi atau adat istiadat yang masih mengakar saat
itu.