Horizontal Navigation

Thursday, May 15, 2014

Pemerintahan Maharaja Jayapangus di Bali Abad ke-XII

1.         Masa Pemerintahan
Munculnya Raja Jayapangus sebagai pemegang tampuk pimpinan kerajaan Balidwipamandala (Bali) diketahui dari dua jenis sumber tertulis yaitu prasasti dan Lontar Usana Bali. Kurang lebih 44 cakep prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus. Prasasti yang tertua menyebut Raja Jayapangus yaitu prasasti Mantring A (prasasti yang disimpan di Desa Mantring, Gianyar) berangka tahun 1099 Çaka/1177 Masehi. Sekaligus merupakan prasasti satu-satunya yang berangka tahun berbeda dari 43 prasasti lainnya, yaitu berangka tahun 1103 Çaka/1181 Masehi. Dari prasasti-prasati tersebut dan prasasti sebelumnya diketahui bahwa Raja Jayapangus memerintah setelah Raja Ragajaya yang hanya mengeluarkan sebuah prasasti berangka tahun 1077 Çaka/1155 Masehi. Apabila prasasti ini dianggap prasasti terakhir dari raja tersebut, maka ada kevakuman waktu selama 22 tahun anatara pemerintahan Raja Ragajaya dengan pemerintahan Raja Jayapangus. Walaupun Raja Jayapangus muncul setelah Raja Ragajaya, tetapi tidak dapat dipastikan bahwa Raja Jayapangus merupakan anak atau keturunan langsung dari Raja Ragajaya. Karena bukti-bukti tertulis baik prasasti maupun sumber tertulis lainnya belum ada menyebut hal tersebut. Hal ini berbeda dengan keterangan yang termuat dalam kitab Usana Bali. Dalam kitab ini yang ditulis sekitar abad ke-16, disebutkan bahwa Raja Jayapangus sebagai pengganti Raja Jayakasunu dan berkeraton di Balingkang. Lebih lanjut dalam Usana Bali disebutkan Raja Jayakasunu sebagai penyelamat kerajaan Bali yang terkena malapetaka karena rakyat acuh tak acuh dalam menjalankan upacara agama.
Kembalinya kesadaran rakyat itulah sampai saat ini dirayakan sebagai hari raya Galungan. Walaupun demikian pentingnya peran Raja Jayakasunu dalam kehidupan masyarakat Bali pada masa lalu, namun tidak pernah ditemukan atau dimuat dalam prasasti-prasasti yang telah ditemukan sampai saat ini. Demikian sebaliknya nama-nama raja sebelum Raja Jayapangus seperti Raja Jayasakti dan Raja Ragajaya tidak pernah disebut-sebut dalam kitab Usana Bali. Timbul pertanyaan apakah raja ini memerintah pada masa yang kosong selama 22 tahun itu, namun prasastinya belum ditemukan? Atau Raja Ragajaya merupakan nama lain dari Raja Jayakasunu? Masih banyak lagi pertanyaan yang memerlukan jawaban dan sudah tentu memerlukan penelitian lebih lanjut.
Berdasarkan prasasti-prasasti beliau mendapakan informasi seolah-olah Raja Jayapangus hanya memerintah 4 tahun, yaitu mulai tahun 1099 Çaka/1177 Masehi sampai 1103 Çaka/1181 Masehi. Pada awalnya beliau memerintah tanpa didampingi oleh kedua permaisurinya dengan gelar lengkap Pāduka Śri Māhāraja Haji Jayapangus, seperti termuat dalam prasasti Mantring A. Sedangkan 28 prasasti lainnya menyebut beliau sudah memerintah didamping oleh kedua permaisurinya dan gelarnyapun bertambah menjadi Pāduka Śri Māhāraja Haji Jayapangus Arkaja Cihna/Lañcana. Sedangkan kedua permaisurinya bergelar Pāduka Śri Parameśwari Induja Ketana dan Pāduka Śri Mahadewi Śaśangkajä Lañcana/Cihna.
Raja Jayapangus kemudian digantikan oleh Raja Ekajayalancana dengan gelar Śri Māhāraja Haji Ekajaya Lañcana, yang memerintah didampingi oleh ibundanya dengan gelar Śri i Māhāraja Arjāyadengjaya Ketana. Pasangan ibunda dan ananda ini pertama kali muncul dalam prasasti Kintamani E dan terakhir dalam prasasti Kintamani F yang berunsur penanggalan dan berangka tahun sama yaitu tanggal 13 suklapaksa (pinanggal/bulan terang), hari-hari, Mawulu, wagai, sukra (jumat) tahun 1122 Çaka/1200 Masehi. Ditulisnya prasasti ini berselang sekitar 19 tahun dengan prasasti Raja Jayapangus yang terakhir. Prasasti tersebut berisi tentang permohonan penduduk Desa (karaman) Kintamani agar anugerah raja terdahulu (almarhum) dikukuhkan kembali, karena Desa Kintamani sudah sejak dahulu merupakan salah satu desa yang menjadi sumber perekonomian kerajaan.
Bila kita perhatikan kembali rentang waktu antara prasasti terakhir dari Raja Ragajaya yang berangka tahun 1077 Çaka/1155 Masehi dengan prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus yang berangka 1099 Çaka/1177 Masehi, maka terlihat ada kevakuman waktu sekitar 22 tahun. Demikian pula anatara prasasti terakhir dari raja Jayapangus yang berangka 1103 Çaka/1181 Masehi dengan prasasti pertama Raja Ekajaya yang dikeluarkan tahun 1120 Çaka/1198 Masehi terdapat kevakuman sekitar 17 tahun. Dilain pihak dari 29 prasasti Raja Jayapangus yang berangka tahun menunjukkan bahwa seolah-olah beliau memerintah hanya selama 4 tahun (1099 Çaka/1177 Masehi - 1103 Çaka/1181 Masehi). Melihat kenyataan tersebut akhirnya muncul suatu pertanyaan dan menjadi permasalahan cukup rumit, yaitu mungkinkah seorang raja besar (rajādhiraja) yang memiliki kewibawaan dan kekuasaan seperti raja penguasa penjuru mata angin (prabhu cakrawarthi) dan menguasai seluruh wilayah pulau Bali (satungkāb balidwipa mandala) dengan tujuh negara bawahan (sapta nagara), dan juga disebut sebagai titisan dewa matahari atau Surya (arkaja) yang selalu didampingi oleh dua permaisurinya yang disebut sebagai titisan atau keturunan Dewi Ratih atau bulan (induja, śaśangkajä) hanya memerintah kurang dari 4 tahun?  Kalau dipikirkan secara logis tidaklah mungkin atau kemungkinan sangat kecil.
Pada kesempatan ini akan dicoba mengemukakan semacam ilustrasi atau asumsi awal. Kalau diperkirakan Raja Jayapangus telah lahir setahun sebelum prasasti Raja Ragajaya itu berarti beliau lahir tahun 1076 Çaka/1154 Masehi. Setelah berumur 17 tahun yaitu sekitar tahun 1093 Çaka/1171 Masehi beliau dinobatkan menjadi raja walaupun tergolong masih remaja. Setelah 5 tahun memerintah dikeluarkan prasasti Mantring A yang berangka tahun 1099 Çaka/1177 Masehi. Pada saat itu beliau berumur 22 tahun, namun belum mempunyai permaisuri atau istrinya belum berperan dalam pemerintahannya. Tiga atau empat tahun kemudian beliau telah berumur 26 tahun, serentak ditulis sedikitnya 29 prasasti dalam waktu yang sama. Dalam arti hari, tanggal, bulan, tahun sama dan beliau sudah disebutkan memerintah didampingi oleh kedua permaisurinya. Mungkinkah peristiwa ini merupakan peringatan hari perkawinannya atau peringatan hari kelahiran calon raja berikutnya? Katakanlah calon raja atau anak raja yang akan menggantikannya telah lahir saat itu, dan dinobatkan menjadi raja 17 tahun kemudian yaitu tahun 1120 Çaka/1198 Masehi. Raja Jayapangus saat itu telah telah berumur 43 tahun dan raja penggantinya Raja Ekajayalancana baru berumur 17 tahun dan rupa-rupanya beliau belum siap menjadi raja, sehingga 2 tahun kemudian yaitu tahun 1122 Çaka/1200 Masehi terbit prasastinya dan disebutkan beliau memerintah masih didampingi oleh bundanya, i Aryadengjaya Ketana.
Dari ilustrasi ini kiranya dapat diduga bahwa masa pemerintahan Raja Jayapangus bukan hanya 3 sampai 4 tahun. Tetapi 5 tahun sebelum dikeluarkan prasasti pertamannya ditambah 4 tahun sesuai dengan prasastinya dan 17 tahun saat penyerahan tahtanya kepada Raja Ekajayalancana. Jadi lama masa pemerintahannya sekitar 26 tahun, dan beliau mengalihkan tahtanya dalam usia 43 tahun. Sangat disadari bahwa asumsi ini sangat lemah karena bukannya dapat menjawab persoalan, namun menimbulkan persoalan baru. Untuk itu kita mengharapkan para pakar yang berkecimpung dibidang ini, ikut serta menyelesaikan permasalahan ini. Perlu diketahui bahwa permasalahan ini hanyalah salah satu dari beberapa permasalahan yang berkaitan dengan masa pemerintahan Raja Jayapangus.

2.         Pranata Pemerintahan
Telah disebutkan di atas bahwa wilayah kekuasaan Raja Jayapangus meliputi seluruh kawasan pulau Bali (satungkāab balidwipa mandala) yang terdiri atas tujuh negara bawahan (sapta nagara). Mengingat betapa luasnya wilayah kekuasaannya saat itu, sudah tentu beban tugasnya sangat berat. Apalagi beliau mempunyai misi untuk mensejahterakan rakyatnya dan keajegan kerajaannya. Oleh karena beratnya tugas-tugas raja dibalik ketenaran namanya atas sejumlah jabatan. Namun dari keseluruhan jabatan yang tersurat di dalam prasasti, hanya sebagaian kecil yang diketahui fungsi dan kewenangannya. Maka secara garis besarnya jabatan-jabatan tersebut dapat dikategorikan menjadi : Jabatan Struktural dan Jabatan Fungsional.

A.        Jabatan Struktural
Berdasarkan hirarkinya atau garis besar perintahnya dan wilayah kekuasaannya dapat dipilah menjadi dua, yaitu jabatan tingkat pusat dan jabatan tingkat desa.

1).        Jabatan Tingkat Pusat
Jabatan pada strata ini kewenangannya diakui oleh seluruh wilayah kerajaan. Jabatan-jabatan tersebut yaitu : 1) Raja/Maharaja/Haji, 2) Senāpati, 3) Samgat, dan 4 ) Mpungku. Jabatan senāpati, samgat, dan mpungku berada dalam suatu lembaga kerajaan yang disebut Pakirakiran I Jro Makabehan.

a).        Raja/Maharaja/Haji
Masyarakat tradisional menganggap kedudukan raja sangat tinggi, bahkan menduduki lapisan kekuasaan teratas dari seluruh lapisan kekuasaan yang ada. Raja dipandang sebagai tokoh yang sangat mulia, agung dan patut dijadikan panutan dalam berprilaku. Kenyataan ini sering kita temukan baik dalam sumber-sumber sastra maupun prasasti.
Kitab Manawadharmasastra, VII: 1-8 menyebutkan sifat raja sama dengan sifat-sifat para dewa dan kekuasaan raja sama dengan kekuasaan para dewa. Oleh karena itu kekuasaan raja melebihi kekuasaan makhluk-makhluk lain yang ada di dunia. Pada sloka 6 dari kitab tersebut dipertegas lagi, bahwa sifat dan kekuasaan raja ibarat sinar matahari, tidak dapat ditatap dengan mata. Ini berarti bahwa kekuasaan raja tidak dapat ditentang dan segala perintahnya harus ditaati oleh rakyatnya.
Berkat kemahakuasaan seorang raja maka sifat dan kekuatan yang harus dimiliki sebagai kepala pemerintahan, hendaknya sesuai dengan sifat atau tingkah laku (brata) dan kekuatan yang dimiliki oleh para dewa penjaga dunia. Yaitu Agni (dewa api), Wahyu (dewa angin), Arka atau Surya (dewa matahari), Soma atau Candra (dewi bulan), Dharma atau Yama (dewa keadilan), Kuwera atau Kubera (dewa harta atau kekayaan), Waruna (dewa laut atau air), dan Indra (dewa perang). Tingkah laku raja yang sesuai dengan dewa penjaga dunia itu disebut asta brata. Tetapi apabila disimak lebih mendalam isi kitab Manawadharmasastra, raja yang mempunyai kewajiban kepada rakyat sebagai pelindung, menjaga keamanan dan ketertiban, menjaga serangan musuh baik dari dalam maupun dari luar, seperti tugas para dewa dimaksud. Oleh karena sifat-sifat raja itulah, maka dituntut agar selalu dekat dengan rakyatnya. Hal ini semua termuat dalam karya sastra yang tergolong niti, seperti Nitisastra atau Nitisara, Nitirajasasana, Nitipraja, Silasasana Prabhu, Purwwadigama Sasana Sarodreta dan sebagainya. Di samping karya yang sangat populer seperti Ramayana, Bhatarayudha, dan Bismaparwa. Seorang raja dituntut agar dapat menjadi sahabat rakyat dan bertingkah laku arif dan bijaksana seperti tabiat seorang pendeta utama. Dalam Silasasana Prabhu disebutkan sebagai berikut :
“…sang prabhu juga maka kanti, apanumawak sadāśiwa…” selanjutnya disebutkan “… apan sang amawa bhumi rumawak sang putus…”
Terjemahan :
“…raja hendaknya sebagai sahabat, karena berbadan Sadāśiwa…”, selanjutnya “…karena yang menjaga dunia (raja) berbadan atau berprilaku sebagai seorang pendeta utama…”.

Kenyataan adanya anggapan bahwa raja sebagai titisan dewa, dalam masyarakat Bali kuna telah muncul sebelum pemerintahan Raja Jayapangus. Salah satu diantaranya ialah Raja Anak Wungsu, yang memerintah sekitar tahun 971 Çaka/1045 Masehi – 990 Çaka/1977 Masehi. Dalam prasasti-prasastinya beliau disebutkan sebagai titisan Dewa Wisnu. Hal ini disebutkan dalam beberapa prasasti sebagai berikut :
“…karunātma sāksāt niram hari mūrti, nityasa nira kumingking sakaparipurnākna nikang rāt rinaksanire…”
Terjemahan :
“…belas kasihan (raja) terhadap jiwa (rakyat) bagaikan Dewa Hari (Wisnu) yang selalu memikirkan kesempurnaan atau kesejahteraan dunia yang dikuasainya…”.

Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa Raja Anak Wungsu merupakan penganut sekte Waisnawa, namun tidak melupakan penghormatan kepada dewa-dewa lainnya. Hal ini diperlihatkan pada bagian akhir dari prasasti-prasastinya yaitu bagian yang memuat kutukan-kutukan (sapatha) untuk memperkuat keputusan raja. Di samping itu Raja Anak Wungsu juga disebutkan sebagai penjelmaan Dewa Dharma atau Yama yaitu dewa keadilan. Dalam prasasti disebutkan “…tuhu tuhun dharmmamūrti, sāksāt dharmmamūrti…”, artinya “…seakan-akan sebagai penjelmaan Dharmma…”. Juga disebutkan “…sāksāt dharmmātmajamūrti…”, artinya “…seakan-akan penjelmaan sejati dari putra Dharma…”. Raja yang dikaitkan dengan Dewa Wisnu atau Hari mungkin karena sifat, fungsi, dan kekuatan magis dewa tersebut sebagai pelindung, penjaga, dan pemelihara kelestarian atau keutuhan jagat raya beserta isinya, yang harus dimiliki oleh raja sebagai penguasa kerajaannya. Dikaitkan dengan Dewa Dharma atau Yama yakni dewa keadilan, karena raja dalam menjalankan tugasnya atau keputusannya harus bersikap adil dan bijaksana agar rakyat benar-benar terayomi.
Demikian halnya dengan Raja Jayapangus, beliau juga disebutkan sebagai titisan dewa. Hal tersebut diketahui dari gelarnya. Dengan tambahan gelar arkaja yang berarti “putra matahari” disertai dengan gelar kedua permaisurinya yaitu induja atau śaśangkaja yang berarti berarti “putri bulan” untuk parameçwari dan mahadewi, maka pasangan raja dengan kedua permaisurinya itu merupakan pasangan suami istri yang ideal. Melambangkan dewa matahari (Surya) disertai dengan dewi bulan (Ratih), karena itu cihna, lancana, dan ketana mempunyai arti “lambang atau tanda”. Dengan pemakaian gelar seperti itu harapan rakyat atau setidak-tidaknya pemberi gelar tersebut, agar raja mempunyai sifat seperti dewa matahari (Surya) yang setiap saat dapat menyinari kehidupan rakyatnya baik lahir maupun batin. Induja atau ketana diharapkan dapat memberi kesejukan lahir-batin kehidupan rakyatnya.
Penggunaan gelar indu yang merupakan sinonim dari kata çaçangka, telah dipakai oleh seorang ratu (raja perempuan) Bali yang memerintah 70 tahun sebelumnya. Gelar lengkap ratu tersebut adalah Śri Sakalendukirana Iśana Gunadharmma Laksmīdarā Wijayottunggadewī. Kata sakalendukirana merupakan kata jadian dari kata sakala + indu + kirana. Kata sakala berarti “penjelmaan, titisan, sempurna, dan nyata”, indu berarti “bulan”, kirana berarti “sinar, cahaya”. Jadi sakalendukirana berarti “penjelmaan atau titisan sinar bulan” atau “penjelmaan bulan purnama”. Masyarakat Bali sejak dahulu sampai saat ini, menganggap bulan purnama merupakan lambang atau simbul dari Dewi Ratih. Harapan yang tersirat dari gelar indu (Dewi Ratih) adalah setiap ratu (raja perempuan) maupun istri raja yang memakai gelar tersebut, hendaknya dapat memberikan sinar kesejukan dalam kehidupan masyarakat. Dilain pihak dengan gelar tersebut juga digunakan untuk mendapatkan legalitas dari rakyat terhadap kedudukan seorang yang memakai atau yang berhubungan dengan pemakai gelar tersebut.
Paduka Śri Mahārāja Haji Jayapangus Arkajacihna ialah seorang raja yang sangat berkuasa dan bijaksana serta sangat mengasihi rakyatnya. Sekitar tahun 1099 Çaka /1177 Masehi sampai 1103 Çaka /1181 Masehi sebagai penguasa tunggal diseluruh wilayah Bali (satungkāb balidwipa mandala), yang terdiri atas 7 negara bawahan (sapta nagara). Beliau selalu memikirkan kesejahteraan dan ketentraman rakyatnya. Mendengarkan keluhan-keluhan rakyatnya, dan keajegan atau keutuhan kerajaannya menjadi prioritas utama semasa pemerintahannya. Sesuai dengan sifat kedewaan yang melekat pada gelarnya yaitu arkaja yang berarti titisan Dewa Surya atau matahari. Kenyataan tersebut termuat dalam prasastinya yang disebutkan sebagai berikut :
“…kumingkin ri kaswathā rāt rinaksanira, makadona ri pagéh nikang saptanagara, swabhawaning kadi sira prabhu cakrawarthi, rājādhirāja, sekarājyarājā laksmi, pināka patraning bhuwana satungkāb Bali dwipa mandala…
Terjemahan :
“…(raja) berusaha keras mewujudkan keselamatan dunia yang diperintahnya, dengan tujuan menjaga keutuhan ketujuh negara (sapta nagara), sesuai dengan kewibawaan beliau sebagai raja penguasa dunia, raja termegah dan tertinggi dari sebuah kerajaan tunggal, yang bagaikan pelindung dunia diseluruh wilayah pulau Bali (balidwipa mandala)…”.

Kutipan prasasti di atas dapat dikatakan bahwa, setidak-tidaknya Bali pada masa itu terdiri dari tujuh negara (sapta nagara) bawahan yang berada di bawah penguasaan tertinggi Raja Jayapangus. Oleh rakyat ketujuh negara bawahannya itu, beliau diakui sebagai rajadiraja (penguasa dunia) dan rakyatpun merasa terlindung olehnya. Karena raja selalu berusaha keras (kumungkin) untuk menjaga keajegan dunia (ri pagéh nikang saptanagara).

b)         Senāpati
Kata Senāpati berasal dari bahasa Sansekerta yaitu senā dan pati. Senā berarti tentara, sedangkan pati berarti raja. Jadi senāpati berarti raja atau pemimpin tentara. Namun demikian perlu diingat bahwa orang yang menduduki jabatan senāpati tidaklah semata-mata bertugas dan hanya berwewenang memimpin tentara. Kedudukan senāpati pada jaman Bali kuna dapat dibandingkan dengan punggawa pada jaman kerajaan Gelgel dan Klungkung yang juga bertugas memutus suatu perkara. Perintah yang diturunkan raja diterima langsung oleh senāpati yang kemudian diturunkan kembali kepada para tanda rakryan (“…umajar i para senāpati, umingsor i taṇḍa rakryan ri pakira kirān i jro makabehan…”).
Sedikitnya ada delapan jabatan senāpati yang dikenal pada masa pemerintahan Raja Jayapangus serta sejumlah pejabat yang menjabat jabatan-jabatan tersebut. Dari keseluruhan pejabatnya, ada yang menggunakan gelar “pu” dan beberapa diantaranya menggunakan  gelar “mpu”. Kedua istilah tersebut mengandung pengertian yang sama, yakni orang yang dimuliakan atau dituakan. Karena orang tersebut telah memiliki keahlian yang memupuni pada bidang tertentu. Kedelapan senāpati dimaksud yaitu :
  1. Senāpati Balīmbunut, dijabat oleh Pu/Mpu Anakās. Senāpati Dinganga, dijabat oleh Pu Anglawung yang kemudian digantikan oleh Pu Udāsina atau Wudasina. 
  2. Senāpati Dīnda, awalnya dijabat oleh Pu Anakās kemudian diganti oleh Pu Hitawaśana, selanjutnya Pu Anakās dipercaya untuk menjabat Senāpati Balīmbunut.
  3. Senāpati Manyiringin, dijabat oleh Pu/Mpu Amurulung dan jabatan ini pernah dijabat oleh Pu Wirengsatru. 
  4. Senāpati Sarbwa, pada mulanya dijabat oleh Pu Singgih kemudian digantikan oleh Mpu Hitawaśana. 
  5. Senāpati Kuturan, mulanya dijabat oleh Pu Dijanmar kemudian digantikan oleh Pu Nirjanma, Pu Nirjanma kemudian digantikan oleh Pu Wakita. 
  6. Senāpati Waranasi, dijabat oleh Pu Udasina dan kemudian beliau menjabat Senāpati Dinganga. 
  7. Senāpati Wrsantān, dijabat oleh Mpu Amurulung.
c).        Samgat
Jabatan ini menerima perintah dari para senāpati. Kata samgat mengingatkan pada istilah sang pamgat. Pamgat atau paměgat berarti “pemutus”. Andaikata hal ini dapat diterima maka samgat berarti jabatan yang bertugas memutuskan sesuatu. Menyadari istilah ini adalah istilah yang sudah tidak dipergunakan lagi pada dewasa ini, sukarlah untuk mengetahui apa tugas dan wewenang samgat pada waktu itu. Pada masa itu ada sejumlah jabatan samgat beserta nama pejabat yang menjabatnya, yaitu :
  1. Samgat Mañuratang Ājñā i Hulu, dijabat oleh Madatambringreh atau Madatamwringreh. 
  2. Samgat Mañuratang Ājñā i Tngah, dijabat oleh Matadhara atau Mitadhara. 
  3. Samgat Mañuratang Ājñā i Wuntat, secara bergantian dijabat oleh Tjagarāga, Mārggarāga, Amaruda, Amudagmudag, dan Margga. 
  4. Samgat Caksu Kārana Pura, dijabat oleh Walaharsa. 
  5. Samgat Caksu Kāranakranta, dijabat oleh Antabhaya. 
  6. Samgat Mañumbul, dijabat oleh Dhirajjā kemudian diganti oleh Wrajñā. 
  7. Samgat Pituha, dijabat oleh Jugulpungpung.
d).        Sireng Kaśewasogatan
Para pemuka agama Śiwa dan Buddha menduduki tempat utama di antara pejabat tersebut. Dalam beberapa prasasti disebutkan “… karuhun mpungku śewasogata…” artinya “…terutama beliau para mpungkwing (tuanku di)…”, yakni merupakan jabatan yang mempunyai tugas dan kewenangan mengatur bidang keagamaan disuatu bagunan suci. Jabatan ini dijabat oleh para pemuka agama Śiwa dan agama Buddha. Kedua unsur agama ini selalu dimintai doa restunya, agar tercapainya ketentraman seluruh rakyat dan negara. Untuk membedakan kedua pendeta ini, apakah beliau penganut Śiwa (Kaśewan) atau Buddha (Kasogatan) dapat diketahui dari gelar yang dipergunakan pada nama-nama beliau. Para pemuka agama Śiwa (Hindu) di depan nama beliau didahului dengan “ḍang ācāryya”, sedangkan untuk menunjukkan bahwa beliau yang dimaksud beragama Buddha di depan nama beliau selalu didahului “ḍang upādhyāya”. Pemuka agama Śiwa (Kaśewan) yang bertugas mengelola salah satu bangunan suci, yaitu :
  1. Mpungkwing Hyang Padang, dijabat oleh Ḍang Ācāryya Agreśwara yang kemudian diganti oleh Ḍang Ācāryya Ananaguna. 
  2. Mpukngwing Dhama Hañar, dijabat oleh Ḍang Ācāryya Agreśwara yang kemudian menjadi pengelola bangunan suci Hyang Padang. 
  3. Mpungkwing Makarun, pada mulanya dijabat oleng Ḍang Ācāryya Hariwangśa (Hadiwangśa) selanjutnya diganti oleh Ḍang Ācāryya Indrangśa.
  4. Mpungkwing Pasabhān, dijabat oleh Ḍang Ācāryya Aparadwaja (Amaradwaja). 
  5. Mpungkwing Binor, secara bergantian dijabat oleh Ḍang Ācāryya Hlahla dan Ḍang Ācāryya Rěṣi Taruṇa. 
  6. Mpungkwing Bañugaruda, dijabat oleh Ḍang Ācāryya Witning Jaya. 
  7. Samgat Juru Wadwa, mulanya dijabat oleh Ḍang Ācāryya Mahendra kemudian diganti oleh Ḍang Ācāryya Brahmendra dan Srangga, beliau diganti lagi oleh Ḍang Upādhyāya Brahmendra.
Adapun pejabat yang tergolong dalam Sireng Kasogatan (Buddha), yaitu :
  1. Mpungkwing Kuti Hañar, dijabat oleh Ḍang Upādhyāya Sarwwatharja (Sarbwatharja) kemudian diganti oleh Ḍang Upādhyāya Antāraga. 
  2. Mpungkwing Bajara Ikara, awalnya dijabat oleh Ḍang Upādhyāya Widdhatra kemudian diganti oleh Ḍang Upādhyāya Rarai Jawa. 
  3. Mpungkwing Kādhikaran, mulanya dijabat oleh Ḍang Upādhyāya Sarwwatha kemudian secara berturut-turut diganti oleh Ḍang Upādhyāya Antaraga, Ḍang Upādhyāya Sarwwarthaja (Sarwwaarja). 
  4. Mpungkwing Rāganāgara, dijabat oleh Ḍang Upādhyāya Nagaraka. 
  5. Mpungkwing Purwwanagara, dijabat oleh Ḍang Upādhyāya…? 
  6. Mpungkwing Nalñja, dijabat oleh Ḍang Upādhyāya…? 
  7. Samgat Mangirenngiren Wandami, dijabat oleh Jitaraga dan kemudian ganti oleh Wangsapriya.
2).        Jabatan Tingkat Desa atau Daerah
Jabatan tingkat desa atau daerah yang dimaksud yaitu jabatan-jabatan yang kedudukannya lebih rendah dari jabatan tingkat pusat. Tugas dan wewenangnya terbatas pada wilayah desa yang merupakan unit territorial terkecil dari suatu kerajaan. Unit teritorial terkecil, dalam sejumlah prasasti disebut thani, wanua atau banua, desa dan penduduk disebut kārāman atau anak thani atau anak wanua. Jabatan-jabatan pada tingkat ini antara lain :

a).        Rama
Rama berarti orang yang bertugas memimpin sebuah kārāman. Kata rama atau rerama sampai sekarang masih dikenal di Bali, yang berarti orang tua, baik orang tua sendiri maupun kerabat dekat. Dalam kata ini terselip pula arti kepemimpinan karena seorang rerama atau rama harus bertanggung jawab kepada keluargannya. Kata ini sering diikuti kata kubayan sehingga menjadi rama kubayan.

b).        Sang Mathāni
Sang mathāni adalah petugas yang mengurus sesuatu berkenaan dengan tanah di desanya. Hal ini mengingatkan pada beberapa tahun yang lalu di Bali, apabila salah seorang anggota desa melaksanakan pernikahan. Keluarga baru ini oleh desa diberikan sebidang tanah (ngarangin) dan sejak itu pula harus aktif mengikuti kegiatan yang dilaksanakan desanya. Jadi andaikata tidak jauh menyimpang kemungkinan di samping tugas permasalahan tanah lainnya, tugas di atas juga merupakan salah satu kewajiban yang harus ditangani oleh sang mathāni.

c).        Mañuratang
Apabila ditingkat pusat terdapat jabatan mañuratang ajña yaitu mañuratang yang bertugas menulis perintah raja, ditingkat desapun terdapat jabatan mañuratang yang bertugas menulis dan mencatat keadaan desanya. Kemungkinan jabatan mañuratang sama dengan sekretaris desa saat ini.

d).        Juru Kṛtta Deśa
Kṛtta berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti selamat, aman, dan sentosa. Jadi kṛtta deśa adalah petugas menjaga keselamatan dan keamanan desanya. Kemungkinan jabatan kṛtta deśa semacam pecalang saat ini.

B.       Jabatan Fungsional
     Di samping jabatan struktural seperti telah dikemukakan di atas, juga terdapat jabatan fungsional yang kewenangannya diakui oleh lebih dari satu desa. Dan bertugas menyelsaikan suatu masalah tertentu secara professional, serta bertanggung jawab kepada tanda rakyan yang ada di pusat. Jabatan-jabatan tersebut antara lain :
  1. Samgat Ker Krangan, pejabat yang bertugas memutuskan persoalan pembagian waris apabila ada penduduk yang meninggal. 
  2. Samgat Ker Kahyangan, pejabat yang bertugas mengurus permasalahan berkenaan dengan tempat-tempat suci (pura dan yang lainnya). 
  3. Samgat Nayakan Buru, pejabat yang bertugas mengurus berbagai tugas berkenaan dengan perburuan. 
  4. Samgat Nayakan Asba (asba atau aśwa berarti kuda), jabatan yang dipegang oleh pejabat yang bertugas mengurus hal-hal yang berkenaan dengan kuda. 
  5. Samgat Nayakan Manuk, pejabat yang mengurus hal-hal berkenaan dengan burung (?). 
  6. Samgat Caksu Wsi, pejabat yang bertugas mengawasi pekerjaan berkenaan dengan benda-benda yang terbuat dari besi.
  7. Samgat Taji, para petugas yang berhubungan dengan sambungan ayam (tajen).
  8. Nayakan Rggāp, petugas yang mengurus orang-orang yang telah berkeluarga dan menunaikan tugas-tugasnya sebagai karma desa.
  9. Nayakan Jawa, petugas ini tidak jelas maksudnya. 
  10. Caksu Wruh, pengawas umum yang mengawasi keadaan desa.
  11. Caksu Hduk, petugas yang mengurus hal berkenaan dengan urusan ijuk.
  12. Sang Admak Kmitan Apigajih, petugas pemungut pajak.
  13. Hulu Kayu, petugas yang mengurus kehutanan.
  14. Paramadhyastā, jabatan ini tidak jelas maksudnya. Pada prasasti biasanya dihubungkan dengan caksu wruh dalam hal mengurus orang mati salah pati, atau lembu dan kuda yang kedapatan mati di semak belukar.
  15. Sang Majataka, petugas yang mengurus laba pura (?). 
  16. Mpungku Sthāpaka, pejabat ini tidak jelas maksudnya.
  17. Tapa Haji, pejabat ini tidak jelas maksudnya.
3.         Pedoman Pemerintahan
Menyadari akan tugas seorang raja sangat berat, untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Maka Raja Jayapangus menggunakan beberapa kitab hukum Hindu sebagai pedoman pelaksanaan pemerintahan, yang dipatuhi oleh segenap pelaksana atau pejabat pemerintahan. Kitab hukum yang sering disebut-sebut dalam prasasti antara lain kitab hukum Manawakamandaka, Manawakamandaka Dharmasastra, dan Manawaśasanadharma. Di samping itu diterapkan pula ajaran-ajaran tentang dasaśila dan pancaśiksa. Dasaśila adalah sepuluh jenis tingkah laku yang baik dan harus dilaksanakan oleh pejabat Negara, yaitu ahimsa (tidak membunuh), brahmancarya (mempraktekkan ajaran-ajaran suci), satya (jujur, tulus hati, setia, berbudi luhur dalam melaksanakan tugas), awyawajarika (:tidak ikut campur dalam perkara atau perdagangan), astainya (:tidak mencuri), krodha (tidak marah atau menjadi pemarah), guruśuśusa (patuh, taat dan berbhakti kepada guru), śosa (senantiasa menjaga dan menciptakan kebersihan jasmani dan rohani), āhārālāghawa (makan secukupnya dan memperhatikan kesehatan makanan), dan āpramäda (tidak lalai dalam menjalankan tugas, selalu memperhatikan kepentingan negara, tidak boleh mabuk).
Pancaśiksa artinya sang raja atau pemimpin setidak-tidaknya memiliki lima jenis keterampilan untuk melengkapi diri dalam melaksanakan tugasnya. Misalnya terampil dalam bidang peperangan, terampil dalam bidang kesenian, terampil dalam bidang pertanian, terampil dalam bidang perekonomian, dan terampil dalam bidang pengobatan. Di samping itu seorang raja, pemimpin, atau pejabat juga harus mempunyai keterampilan dalam bidang perkudaan (aswaśiksa), cekatan dan terampil dalam melaksanakan intruksi-intruksi dari guru (guruśiksa), memahami ilmu dan terampil melatih gajah (hastiśiksa), dan mempunyai keahlian dan keterampilan dalam mengatur pemerintahan (rajaśiksa).
Kitab-kitab hukum dan tata pemerintahan itu diterapkan dengan benar oleh Raja Jayapangus, disertai pula penerapan ajaran-ajaran dasaśila dan beberapa keterampilan (śiksa) tersebut. Maka wajarlah bahwa beliau disebut sebagai prabhu cakrawarthi (raja penguasa dunia), satungkāb balidwipamandala (seluruh wilayah pulau Bali). Walaupun demikian pentingnya kitab hukum dan tata pemerintahan itu sudah tentu dalam penerapannya disesuaikan dengan tradisi-tradisi atau adat istiadat yang masih mengakar saat itu.

2 comments: